Laman

Senin, 19 Maret 2012

MENYEMAI SIKAP PEMAAF

Pagi itu, seorang lelaki bergegas menuju satu tempat di ujung pasar kota Madinah. Dengan berbekal makanan, ia mendatangi seorang pengemis buta yang terbiasa mangkal disitu. Tak banyak bicara, lelaki tersebut menyuapinya penuh ketelatenan. Sebelum disuapkan, makanan dikunyah lebih dulu supaya terasa lembut ketika dikunyah.


Sementara disuapi, pengemis tersebut menyindir sebuah nama. Penuh kebencian ia caci maki disertai pesan untuk menjauhi nama tersebut. Ia begitu bersemangat melakukan hal itu dan baru berhenti jika lelaki yang menyuapinya pamit pulang. Sekian lamanya kejadian itu berulang hingga suatu saat lelaki tersebut tak mendatanginya lagi.

Suatu ketika, munculah lelaki lain yang meneruskan kebiasaan itu. Dalam keadaan buta ternyata sang pengemis peka terhadap cara orang menyuapinya. Karena merasa beda dengan cara yang digunakan sebelumnya, ia pun bertanya, “Siapa kamu? pasti bukan orang yang biasa menyuapiku! Lelaki itu menjawab,” Aku Abu Bakar, memang bukan orang yang biasa menyuapimu. Sebab lelaki yang biasa menyuapimu telah wafat, dia bernama Muhammad.

Mendapat penjelasan tersebut sang pengemis terkaget seraya menangis. Hatinya diliputi sesal karena tak menyangka yang ia caci selama ini adalah Nabi Muhammad. Teringatlah kebiasaan jahatnya ketika ia berteriak di tengah pasar, "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila mendekatinya kalian akan dipengaruhinya".

Rasa sesal yang menggumpal di hati pengemis yahudi itu seketika berubah. Hatinya diliputi kagum atas akhlak Muhammad, pribadi yang sangat pemaaf meskipun dicaci dihadapannya sendiri maupun di hadapan orang lain. Beliau tetap bersabar tanpa menghentikan kebiasaan baik pada orang yang menyakiti termasuk dirinya. Tak ingin kehilangan momen, saat itu juga di hadapan Abu bakar pengemis tersebut berikrar dua kalimat syahadat.

Kisah ini sangat inspiratif dan menjadi bukti kesempurnaan akhlak Muhammad. Meskipun beliau seorang Nabi yang mempunyai kedudukan mulia dihadapan Allah, ternyata tak merasa gengsi ketika memberi maaf pada orang yang menyalahi meskipun orang tersebut belum (atau tidak) meminta maaf kepadanya. Sungguh benar bila Al Qur’an menyatakan bahwa dalam diri Muhammad terdapat teladan terbaik (QS...)

Agungnya sikap pemaaf Rasulullah Muhammad telah mentransformasi para sahabat menjadi generasi penyayang. Mereka seperti menemukan energi baru untuk mengubah karakter jahat yang sebelumnya dipengaruhi jahiliyah. Umumnya orang jahiliyah merasa “tidak terhormat” ketika harus memberi (apalagi meminta) maaf. Akibatnya permusuhan dan peperangan sering mewarnai peradabannya.

Munculnya perasaan “tidak terhormat” ketika memberi maaf, pada dasarnya bersumber dari nafsu syetan. Seperti yang menjadi sumpahnya, syetan tak akan berhenti menebarkan permusuhan diantara manusia sampai hari kiamat tiba. Maka syetan sangat menyukai orang yang suka merusak tali persaudaran, menyebar fitnah atau bahkan suka menumpahkan darah manusia lainnya.

Sulitnya memberi maaf pasti berakibat emosi brutal. Seperti kejadian sadis beberapa waktu lalu ((23/02/2012). Bermotif dendam, sekelompok orang yang melayat di RSPAD Jakarta diserang puluhan orang dengan menggunakan parang. Akibatnya, dua orang tewas dan lainnya luka-luka. Setelah terkuak, ternyata aktor penggeraknya seorang ibu yang kemudian dijuluki Kill Bill, meniru judul sebuah film sadis yang aktor utamanya juga perempuan.

Subhanalloh, sunguh tak lazim ketika seorang manusia, apalagi ia seorang ibu, melakukan tindak sadis karena alasan “sepele”. Harusnya dia sadar bahwa rahim, sebagai simbol pelindung dan penyayang, telah diciptakan Allah dalam tubuhnya. Bagaimanapun, setiap manusia pasti dilahirkan dari sebuah rahim. Mmaknanya bahwa ia harus mewarisi sikap penyayang agar kehidupan ini berjalan lestari.

Hanya saja, jika menilik kasus permusuhan, penyiksaan, perceraian, persengketaan, atau pertikaian lain yang akhir-akhir ini marah terjadi, sebagai orang beriman kita wajib bertanya, bagaimanakah masa depan dunia ini jika sebagian besar manusiannya suka bertindak melampaui batas. Masih adakah jalan yang bisa diupayakan supaya iman tetap terpelihara kuat di hati.

Kembali ke Al Qur’an
Tidak ada sumber solusi terbaik selain apa yang diajarkan Al Qur’an. Dengan bersandar kepadanya, kehidupan ini tak akan mungkin terperdaya oleh siapapun termasuk syetan. Inilah kesadaran yang dipegang teguh orang beriman. Mereka sepenuhnya percaya bahwa segala perintah Allah pasti akan membawa keberuntungan. Sebaliknya, setiap larangan-Nya pasti akan membawa kerugian dan kehinaan.

Demikian halnya dengan perintah (anjuran) menjadi pribadi pemaaf. Ketika Al Qur’an menyebutnya berkali-kali hal itu menegaskan bahwa menjadi pemaaf itu laksana SOP (Standar Operational Procedure) pemurnian ketaatan kepada Allah. Maka orang beriman akan menyambutnya sepenuh hati. Sebagaimana dikatakan Allah dalam QS. 7:199, “jadilah pemaaf dan suruhlah orang berbuat ma’ruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”.

Membalas aniaya seseorang dengan balasan setimpal memang tidak dilarang. Tetapi sikap pemaaf lebih diutamakan karena dapat membentengi diri dari godaan syetan yang mengajak permusuhan berketerusan. Dengan memaafkan, kecerdasan emosi seseorang semakin terolah sehingga semakin sabar atas takdir Allah. Dalam QS 42:43 Allah berfirman, “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan".

Meneguhkan sikap pemaaf juga akan mendatangkan rahmat Allah. Korelasinya, sikap pemaaf menjadi salah satu ciri orang bertakwa sedang tidak ada balasan bagi orang bertakwa kecuali surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Inilah motivasi terbesar orang beriman. Dalam QS 3:134 disebutkan,”yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya disaat sempit maupun lapang, dan menahan marah, dan memaafkan diantara manusia, dan Allah menyukai orang yang berbuat baik,”.

Setiap orang beriman pasti mendambakan surganya Allah. Hanya saja, mereka sadar bahwa ampunan-Nya harus diraih lebih dulu. Maka ketika mereka diberitahu bahwa sikap pemaaf menjadi prasyarat turunnya ampunan, mereka pun bersegera melakukannya. Allah berfirman,"...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22).

Sikap pemaaf merupakan dasar akhlak mulia dan oleh karenanya patut menjadi pegangan dalam berdakwah. Rasulullah Muhammad adalah pribadi yang sangat pemaaf meskipun kaum kafir di sekitarnya sering bekomplot untuk menteror dan menyiksa beliau maupun pengikutnya. Allah berfirman, “... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)

Refleksi Kenyataan Diri
Kini, jujurlah untuk mengenali sikap pemaaf diri kita selama ini. Untuk memudahkan, buatlah score card mirip buku tabungan dengan dua kolom, pertama untuk kredit dan yang kedua untuk debit. Debit kita andaikan sikap pemarah sedang kredit kita andaikan sikap pemaaf. Ingat-ingatlah kejadian dalam sebulan terakhir, berapa kali kita marah dan berapa kali kita telah memaafkan orang.

Dimulai dari masalah ringan seperti ketika jalanan becek lalu ada mobil melintas dan rodanya mencipratkan air lumpur ke wajah kita, atau ketika capek antri di ATM tiba-tiba ada orang menyerobot masuk, atau juga ketika istri lupa membuat kopi kesukaan kita, dan lain sebagainya, sampai dengan soal yang kita anggap penting misal ketika piutang anda gak dibayar, atau ketika di PHK tanpa alasan jelas, ditipu investasi oleh teman karib, difitnah atasan dan lain sebagainya.

Tulislah kejadian demi kejadian itu sesuai letak kolomnya masing-masing. Kemudian lakukan penjumlahan ke bawah. Berapapun hasil penjumlahannya silahkan tempel ditempat yang mudah diketahui, misal di pintu kamar tidur. Setelah itu perhatikan baik-baik, bila angka debit anda lebih besar daripada kredit, percayalah bahwa kecerdasan emosi kita masih rendah dan iman kita perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena nafsu amarah masih mendominasi hati kita.

Tentu kita masih ingat beberapa persidangan yang memutuskan bersalah pelaku atas perbutan “super sepele” seperti karena mencuri dua buah kakao, mencuri tebu, mencuri piring, dan lain sebagainya. Semuanya berawal dari sikap para pelapor yang tidak memaafkan kesalahan pelaku karena amarah telah menguasai hati mereka. Pertanyaannya, menjadi pemaaf untuk hal-hal sepele saja tidak bisa, apalagi untuk masalah besar.

Seharusnya kita malu dengan Sayyidina Ali, seorang khulafaurrosyidin yang telah mendapat jaminan surga. Alkisah, di suatu pertempuran, beliau berhasil menjatuhkan lawan. Sembari meletakkan kaki di atas dada musuh, beliau pun menempelkan pedang di lehernya. Disaat terdesak musuh itu justru meludahi wajah Sayyidina Ali. Dalam kondisi wajah memerah, beliau menarik pedang dan kaki dari tubuh musuh yang tak berdaya tersbut.

Melihat hal itu, musuh berteriak tanya,”mengapa kamu tidak membunuhku sedang aku adalah musuhmu? Mengapa engkau hanya berdiri saja”. Tanpa takut musuh itu meludahi lagi wajah Sayyidina Ali yang kemudian berkata,” Ketika engkau meludahi aku, aku menjadi marah dan keangkuhan datang kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menjadi seorang yang berdosa sedang perbuatan buruk itu akan terekam atas namaku. Itulah sebabnya aku membebaskanmu."

Memetik Pelajaran
Kisah sayyidina Ali di atas menjadi pelajaran betapa positfinya pengaruh sikap pemaaf. Diantaranya untuk menghentikan nafsu amarah yang selalu menjerumuskan. Dalam banyak kasus, ketika seseorang membalas kejahatan orang lain, yang terjadi akhirnya dendam berketerusan. Jika demikian, mengutip sebuah pepatah, “jika aku membalas apa yang kamu perbuat padaku, lalu apa bedanya aku dengan kamu”.

Membalas kejahatan atau kezaliman orang lain yang setimpal memang dibolehkan. Tetapi memberi maaf yang lebih diutamakan. Hal ini menandakan jika ada faedah besar jika melakukannya. Melalui berbagai riset, banyak ahli dari berbagai bidang ilmu seperti psikologi, biologi, sosial, agama dan spiritual, maupun bidang lainnya. Umumnya mereka satu temuan bahwa sikap memaafkan sangat penting untuk mengendalikan nafsu marah.

Banyak pakar kesehatan membuktikan, nafsu amarah sangat membahayakan. Detak jantung akan meningkat melebihi batas wajar dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi. Kebutuhan oksigen oleh sel otot jantung meningkat dan keping darah pun bertambah kental dan berpotensi memicu pembekuan. Kemungkinan terkena serangan jantung pun tinggi. Berdasar hal demikian, harusnya kita memahami pentingnya pemaaf.

Dr. Frederic Luskin dalam buku yang berjudul Forgive for Good, menjelaskan bahwa sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri. Sebaliknya ia akan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak buruk secara ragawi dan dapat diamati pada pelakunya.

Dalam jangka panjang, hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan emosional. Karena terbiasa marah, seorang pemarah tidak menyadari ketidaknormalannya. Ia merasa akrab dengan itu dan tidak mempermasalahkannya sedangkan sikap marah pasti menyulitkan berpikir jernih. Dampak selanjutnya adalah akan memperburuk keadaan.

Disinilah urgensinya sikap pemaaf. Bagi orang beriman, apa yang disabdakan Nabi Muhammad adalah benar adanya, bahwa orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya ketika marah. Sikap pemaaf menjadi salah satu pengendali emosi yang sangat kita perlukan untuk kesehatan lahir maupun batin kita. Semoga kita termasuk golongan mutaqin yang diantara cirinya adalah pandai memaafkan kepada manusia lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar