Laman

Kamis, 29 Maret 2012

Waspadai Black Stamp

(Sebut saja) Akari, 5 tahun, siswa sebuah Taman Kanak-Kanak. Sebagai anak yang sangat aktif, naluri keingintahuannya begitu besar, baik pada benda maupun kejadian di sekelilingnya. Dia tak merasa capek ketika harus bergerak mondar mandir dalam rumah. Alhasil, perabot rumah pun tak jarang jadi berantakan. Meski demikian, ia tetap enjoy seperti sedang mengerjakan sesuatu. Ayah dan bundanya bekerja di satu kantor akuntan publik dengan posisi yang strategis. Tak jarang, keduanya baru sampai rumah jam 8 malam atau lebih. Selain lembur, jalanan macet sering jadi penyebabnya. Kondisi demikian sering memicu bad mood sehingga kurang enjoy ketika melihat keadaan. Terlebih ketika melihat seisi rumah berantakan akibat ulah Akari. Ikutilah dialog berikut ini:


Ayah&Bunda: Assalamu’alaikum... 
Akari :Wa’alaikum Ayah, Bunda....(Akari berlari menuju keduanya dan menyalami tangannya) 
Ayah : (sambil geleng-geleng kepala) Waduh...kok meja kursi ruang tamu jadi berantakan gini, bunga lepas   dari vasnya, taplak meja juga aduhhhh...! 
Bunda : Emang kamu main apaan sih Nak, kok mesti bikin rumah berantakan ? tuh CD nya juga berceceran di lantai..mirip roda truk gandeng aja...?! 
Ayah : Kursi tamu juga nih, kok mirip kursi kereta aja posisinya...gmn nanti kalo ada tamu? Bisa repot dong..ahh 
Bunda : Mbok ya jangan suka berantakin isi ruangan seperti ini toh Nak...main mainan yang lain kan bisa, Ayah dan bunda pulang kerja udah capek, kan tambah capek kalau harus betulin semua perkakas yang berantakan ini...!  

(Bertubi-tubi, ayah bunda mengeluarkan nada kesal kepada Akari. Sebenarnya itu bukan kali pertama. Namun mereka pikir, itulah saat yang paling tepat untuk menyadarkan bahwa ulah anaknya selama ini cenderung negatif dan tak punya makna. Sadar sedang dimarahi Akari pun diam. Kedua matanya tampak berkaca-kaca karena merasa terpojok dan disalahkan. Hatinya seketika mengkerut. Apa yang menjadi kreasinya malam itu berupa mobil-mobilan berbahan meja kursi tamu, CD dan perkakas lainnya dianggap tak bernilai. Bahkan hanya bikin emosi orang tuanya.

Mentalnya pun menciut dan takut untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya, ia lebih betah berada di kamar, sambil tetap mengutak-atik seisi kamar dengan tujuan agar tak dimarahi lagi oleh ayah bundanya. Dua minggu kemudian, Akari mendapat titipan surat dari sekolah untuk ditujukan kepada keduat ortunya. Dan, terjadilah dialog berikut:

Akari : Ayah, ini ada titipan surat dari sekolah! Ayah : surat apa ya? Oke bawa sini biar ayah baca..!!

 (penuh deg-degan, dibacalah isi tulisan yang ada di surat itu, tertulis jelas disitu bahwa Akari telah menjuarai lomba desain mobil masa depan, namun posisinya di peringkat ketiga. Tertulis juga keterangan dibawahnya situ, bahwa pada tahap terakhir penjurian, Akari kalah dengan pesaingnya karena adanya perasaan tertekan (trauma).

Ayah : Wah luar biasa Nak, selamat ya kamu udah menjadi juara ketiga lomba desain mobil masa depan, tapi akan luarbiasa lagi seandainya engkau bisa jadi juara pertama..he..he 
Bunda : Bunda pikir juga demikian, pasti kami akan sangat bangga andai Akari jadi juara pertama, ngomong-ngomong maksud tulisan yang menyebutkan bahwa perasaanmu waktu mengikuti lomba tertekan apa ya? 
Akari : (dengan agak terbata-bata)...sebenarnya...sebenarnya akira takut dimarahi Ayah Bunda...!! Ayah : Maksudnya? Akari : Akari ingat waktu sedang membikin desain mobil, ayah bunda memarahi karena dianggap membuat berantakan isi rumah...demikian halnya ketika Akari mengikuti lomba, rasa takut dimarahi ayah bunda.. 
Ayah : upsss....jadi selama ini sikap kami telah membuatmu tertekan ? masya Allah...maafkan kami nak... 
Bunda : Iya Nak, maafkan jika kami tak mengetahui maksud dan keinginanmu, kamu sering jadi bad mood kami, ternyata dibalik ke aktifanmu tersimpan kecerdasan yang luar biasa...Subhanallah 

Mereka berduapun segera merangkul Akari seraya bernjanji takkan membentaknya lagi. Kisah ini memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa setiap anak pasti mempunyai kecerdasan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Kadang kala ada yang ekpresinya unik, bahasa lain nyleneh. Sebagai orangtua, kita harus pandai mengenali, menandai dan memahami maksud setiap ekpresi mereka. Tentunya dengan banyak berkomunikasi penuh empati. Sebab, tanpa tindakan demikian, bukan tidak mungkin kita menjadi orang tua yang salah dalam menilai.

 Bagaimanapun, anak-anak kita selalu butuh pengertian, penghargaan, pujian, kepercayaan dan sikap-sikap lain yang akan menjadi vitamin bagi mentalitas tumbuh kembang mereka sehingga menjadi pribadi tidak takut untuk berkarya dan berprestasi. Last but not least, kendalikan bad mood anda, sebab ia bisa menjadi petaka bila anak-anak kita sering menjadi sasaran empuknya. Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar