Pertanyaannya, apakah angan
tinggal angan jika prasyarat demi prasyarat tersebut tidak terpenuhi?. Bisa aja
kita ngeyel mewujudkannya meski kondisi hidup tak seperti yang diharapkan. Bisa
pula kita berubah pikiran dengan merubah dan mengganti ke dalam bentuk yang
lain. Sebaliknya bisa pula kita mengambil jalan ekstrim dengan membuang/membatalkan
angan-angan tersebut. Semu itu pilihan dan setiap pilihan mempunyai keuntungan
dan kerugian.
Saya mengatakan, bahwa memiliki angan
ibarat beternak nyamuk. Banyak hikmah yang bisa kita ambil darinya. Sebagai
hewan bersayap, nyamuk banyak mengajari kita tentang cara menerbangkan sayap sekuat
mungkin sehingga kita menjadi pribadi yang dinamis, bukan statis apalagi lembek.
Namun sebaliknya, dalam kondisi lapar nyamuk akan menjadi hewan yang menakutkan
karena yang dihisap adalah darah, termasuk yang ada dalam tubuh kita. Maka,
satu-satunya jalan adalah dengan mengenali obat pengendali nyamuk supaya kita
tidak digigit olehnya.
Demikian pula ketika kita
beternak angan. Di satu sisi memang akan mendorong mental kita supaya lebih
berenergi dalam meraih prestasi hidup. Benar bahwa semua manusia ingin memiliki
hidup yang serba ada, serba bisa, serba bahagia dan oleh karena itu membutuhkan
angan yang menuju kesana. Sebab, bagaimanapun setiap angan yang tercapai sudah
pasti akan memberikan efek bahagia (meskipun sifatnya sementara sebagaimana
sifat dunia). Sebaliknya, ia akan memberi efek sedih, kecewa dan perasaan tidak
bahagian lainnya apabila tidak tercapai.
Maka, mempunyai angan harus dalam
ukuran yang wajar dan proporsional. Sebab tubuh kita tidaklah memiliki ukuran
yang sama persis dengan orang lain, entah itu berat badan, tinggi, jenis
rambut, jenis kulit, suku dan lain sebagainya. Termasuk pula level ketrampilan,
pengetahuan dan keadaan lingkungan lain sebagainya. Maka “menyederhanakan”
angan menjadi penting supaya kita tidak menjadi pribadi yang berlebih-lebihan.
Sungguh, tidaklah tepat jika kita
sering (apalagi suka) membanding-bandingkan diri dengan orang lain, terutama
dalam urusan dunia. Misal ketika teman yang sudah mempunyai rumah, mobil, toko,
sawah dan lain sebagainya sementara kita belum memiliki barang yang demikian Saya
yakin hati akan mudah kecewa karena kita merasa kalah saing atau istilahnya populernya
“kalah nasib”.
Coba kita perhatikan acara TV
Indonesia Idol. Puluhan ribu anak muda di negeri ini mempunyai angan yang
serupa, yaitu menjadi salah satu nominator sebelum akhirnya menjuarainya. Maka
lihatlah tayangan ketika mereka digugurkan oleh Juri dengan segala kritik pedas,
tampak raut muka sedih, nada kecewa bahkan kata cacian umpatan keluar dari
mulut mereka. Percayalah bahwa semua itu karena terlalu kuatnya angan yang
mereka semai.
Akuilah bahwa selama ini angan
kita lebih didominasi oleh urusan dunia berikut gemerlapnya. Kita ingin begini,
ingin begitu jika ditelisik tak lepas dari keinginan nafsu syahwat. Entah itu
terkait perut atau sedikit dibawah perut. Tak sadar, akhirnya kita sering
menjadi korban pemenuhan angan-angan duniawi.
Disinilah untuk urusan dunia, Rasulullah
melarang kita berpanjang angan (tulul amal) supaya kita menjadi pribadi yang
proporsional, tidak ngoyo, ngeyel apalagi
mekso. Sebab yang terpenting kita diajarkan menjadi pribadi yang setelah beriman
dan berilmu, adalah beramal, beramal dan beramal. Kemuliaan seorang manusia
bukan dari angannya, tapi dari amalnya yang terus menerus meskipun sedikit.
Allah juga menegaskan bahwa kehidupan ini dicipta untuk menguji siapa terbaik
amalnya.
Hidup ini memang harus memilih
dan tentunya pilihan yang sesuai angan. Seperti hal nya ketika orang ditanya,
apakah ia ingin hidup miskin, hidup yang serba susah dan menderita? pasti
jawabannya adalah TIDAK karena semua orang ingin hidup kebalikannya. Tetapi PROPORSIONALKAN
angan, terutama untuk tujuan dunia. Sebab yang harus lebih diperhatikan adalah beramal
untuk kehidupan akhirat. Cukuplah Doa sebagai angan kita, karena doa lebih
mulia dengan segala konsekuensinya, yaitu berusaha dan berserah pada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar