Laman

Kamis, 19 April 2012

Selamatkan Bumi


PP 02/2008: Upaya Destruksi Otonomi Daerah
Pemenang Terbaik Lomba Opini Tambang di Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat
Oleh : Ali Yasin, Wartawan Majalah Otonom, Tinggal di Madiun

PP 02/2008 secara nyata mengancam proses otonomi yang sedang berjalan di seluruh kabupaten di Indonesia. Bukan tidak mungkin pemerintah daerah akan berlomba dalam mengekspoitasi hutan dan kawasan lindung yang berada di daerahnya. Sebagai acuan legal formal, PP ini akan menginspirasi maraknya kegiatan pertambangan di daerah dengan alasan kepentingan ekonomi lokal.
*****

Sebagai sumber daya alam yang terbesar di negara kita, hutan memiliki fungsi vital bagi pembangunan dan kehidupan. Di samping sumber oksigen,ia berfungsi sebagai penyerap emisi karbon. Tiap satu hektar hutan dapat menyerap karbon (C) antara 200-350 ton. Hutan juga menjadi penyangga keseimbangan ekosistem. Di dalamnya terkandung potensi kekayaan yang berguna untuk kelangsungan hidup masyarakat. Hasil kayu maupun non kayu merupakan cadangan pangan yang bernilai ekonomis tinggi.

Penghilangan fungsi hutan dapat berakibat fatal. Ibarat efek domino, satu kerusakan akan menimbulkan kerusakan lain. Jika sudah terjadi, efek yang demikian sulit dicegah. Aksi illegal loging misalnya, ia tidak sekedar merusak ekosistem yang ada di lingkungan hutan, akan tetapi juga berpotensi menimbulkan banjir, tanah longsor, pemanasan global hingga penghancuran potensi ekonomi masyarakat yang menggantungnya hidup darinya. Harus menjadi catatan penting bahwa selain ongkos yang besar, durasi pemulihan kerusakan hutan juga membutuhkan waktu lama.Hutan lindung, dengan segala keistimewaannya, di desain sebagai buffer area (daerah penyangga). Terutama di saat hutan lain telah kehilangan fungsi akibat terjadinya kerusakan.

Diantaranya untuk menjaga kelestarian sumber mata air, DAS (Daerah Aliran Sungai) dan mencegah adanya pencemaran lingkungan. Perusakan hutan lindung akan menyertakan kerusakan alam. Selain itu juga dapat menurunkan derajat kehidupan serta proses pembangunan yang sedang berjalan. Dalam konteks yang lebih luas, perusakan hutan akan mengganggu jalannya pembangunan dalam era otonomi daerah.Adanya kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, sudah barang tentu menyalahi prinsip tata kelola hutan lindung.

Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dinyatakan prinsip tata kelola alam adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Disahkannya PP nomor 2 Tahun 2008 yang mengakomodasi kepentingan pembangunan diluar kepentingan hutan, terutama pada kawasan hutan lindung, telah menyalahi prinsip pasal 33 di atas.Sebab ia akan memberi peluang munculnya eksploitasi tanpa kendali. Meskipun PP ini mengatur kompensasi yang harus dibayar, tetap saja tidak mampu memulihkan dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan eksploitasi.

Persepsi yang Sepihak PP nomor 2 Tahun 2008 secara nyata mengancam proses otonomi yang sedang berjalan di seluruh kabupaten di Indonesia. Bukan tidak mungkin pemerintah daerah akan berlomba dalam mengekspoitasi hutan dan kawasan lindung yang berada di daerahnya. Sebagai acuan legal formal, PP ini akan menginspirasi maraknya kegiatan pertambangan di daerah dengan alasan kepentingan ekonomi lokal. Jika merujuk pada UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diantara 8 bidang urusan pilihan yang pengelolaannya diserahkan pada pemerintah daerah, kehutanan merupakan salah satunya.

Pengelolaan bidang kehutanan di tingkat daerah seharusnya menggunakan azas kelestarian lingkungan demi kesejahteraan masyarakat. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya. Elite-elite lokal terjebak ada upaya memperkaya diri dan kelompok. Seperti yang terjadi pada kasus alih fungsi lahan hutan lindung di Bintan, atau pembalakan liar di Ketapang. Tidak kurang dari 7000 hektar hutan di provinsi Kalimantan Barat itu (termasuk hutan lindung Bukit Lawang) hancur. Kasus yang melibatkan pejabat dinas dan aparat setempat ini, harus menjadi peringatan besarnya kerugian yang harus di tanggung oleh negara dan masyarakat hanya karena ulah segelintir orang.

Disahkannya PP nomor 2 Tahun 2008 akan menjadi referensi hukum yang mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan ruang terbuka bagi investasi di bidang kehutanan. Dengan alasan peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), kabupaten yang basis ekonomi primernya adalah hutan, akan disibukan oleh upaya untuk mengkesploitasi hutan tidak terkecuali kawasan dan hutan lindung. Atas nama peningkatan PAD mereka akan berkompetisi menggandeng investor tanpa memperhitungkan kerusakan yang harus ditanggung di kemudian hari. Persepsi demikian membuat implementasi otonomi daerah semakin menyimpang dari pola dan tujuannya.

Terlebih, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung sehingga menelan biaya yang sangat besar. Pada akhirnya memunculkan sifat pragmatis bagi calon Kepala Daerah terpilih. Selama masa kepemimpinannya, mereka akan lebih berkonsentrasi mengejar berbagai keuntungan seiring dengan kebijakan pembangunan daerah meskipun harus dengan menggadaikan hutan lindung ke tangan investor. Tanpa perhitungan matang demi kelestarian lingkungan, kegiatan investasi pada kawasan hutan lindung dipersepsi sebagai jalan legal yang cepat menguntungkan diri dan kelompoknya.

Harus disadari bahwa kegiatan pertambangan terbuka pada kawasan hutan lindung akan menimbulkan dampak negative bagi daerah yang ditempatinya. Sudah banyak kasus yang mendukung tesis demikian seperti dalam kasus Newmont, Exxon Mobil, Freport dan lain sebagainya. Dengan adanya pertambangan terbuka, akses masyarakat lokal terhadap hutan lindung terhalangi. Lebih parah dari itu, akibat limbah pertambangan terbuka potensi kesuburan tanah akan hancur dan berakibat sulitnya proses penghutanan kembali. Ujung-ujungnya keberdayaan ekonomi masyarakatlah yang mengalami destruksi. Hal ini semakin menyulitkan terselenggaranya model pembangunan yang pro rakyat kecil.

Pada tataran lanjut, PP nomor 2 Tahun 2008 akan semakin menumbuhkan oligarki di tingkat daerah. Pelimpahan beberapa kewenangan pusat ke daerah telah menjadikan perilaku Kepala Daerah ibarat “raja kecil”. Pemerintah pusat semakin kehilangan kendali pada urusan pemerintahan yang menjadi pilihan daerah masing-masing. Termasuk dalam bidang kehutanan. Disahkannya PP nomor 2 Tahun 2008 sudah jelas akan menimbulkan kerugian masyarakat lokal.Rendahnya biaya sewa-pakai hutan lindung untuk pertambangan terbuka sebagaimana diatur oleh PP tersebut,mendorong investor leluasa masuk ke daerah tanpa mempertimbangan aspek sosial-ekonomi dan budaya lokal.

Tinjauan Ulang

Pengesahan PP nomor 2 Tahun 2008 dari banyak aspek tidak memiliki kearifan, terutama dari sisi penyelamatan proses otonomi daerah. PP ini justru akan mendorong sentralisasi ekonomi di kalangan elite lokal. Dibukanya ijin pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung tentu diawali dengan konsesi ekonomi yang umumnya dipenuhi kolusi dan korupsi. Konsesi ini sering tidak diketahui luas oleh masyarakat dan oleh karenanya rentan kepentingan terselubung. Bagaimanapun, pengaturan nilai kompensasi seperti diatur dalam PP nomor 2 Tahun 2008 akan lebih menguntungkan kepentingan elite lokal dan investor daripada nilai kerusakan yang harus di derita oleh masyarakat.

Sampai sekarang proses otonomi daerah belum membuahkan hasil yang semestinya. Harapan masyarakat untuk menikmati kue pembangunan yang desentralis justru diganggu oleh hadirnya PP nomor 2 tahun 2008. Akibat salah tafsir hakekat otonomi daerah, terlalu banyak elite lokal berpikir sempit dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerahnya. Secara membabi buta mereka menggandeng investor untuk mengeksplorasi hutan demi kepentingan peningkatan PAD (pendapatan asli daerah). Apa arti peningkatan PAD jika kerusakan alam yang ditanggung tidak tergantikan oleh kompensasi apapun ? Sepatutnya PP nomor 2 Tahun 2008 ditinjau ulang oleh DPR dan Pemerintah.
Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar